Picture
Dalam teori kekuasaan (power), partai politik merupakan elemen penting, terlepas Negara tersebut menganut sistem pemerintahan apapun juga. Pada tataran konsep ideal, banyak para pakar berpendapat bahwa politik sebagai ilmu (science) merupakan sebuah upaya perubahan kearah yang lebih baik. Aristoteles menyatakan bahwa keadaan tersebut adalah kebajikan (virtue), dimana “kebajikan adalah pengetahuan yang tertinggi”.  Hal inilah yang menyebabkan politicos merupakan segolongan orang yang ingin berbuat kebajikan kepada masyarakat. Sehingga dalam konsep ideal, politik yang masih abstrak harus diimplementasikan dengan dicapai melalui elemen media yang konkrit. 

Politik memiliki definisi yang beragam, sebagaimana dikatakan oleh Paul Conn, bahwa “politik adalah konflik” (politics is conflict), dimana pertarungan kekuasaan adalah pertarungan yang mempertaruhkan konflik kepentingan.

Sementara itu menurut Harold Lasswell, bahwa politik adalah “siapa mendapatkan apa, kapan dan bagaimana” (politic is who gets what, when and how). Dalam hal ini terlihat kepentingan kekuasaan yang sangat dominan. Bila kita asumsikan politik merupakan taktik yang konkrit.

Hanya dalam implementasi partai politik sebagaimana didefinisikan oleh Rodee bahwa lebih merupakan “sekumpulan orang-orang yang memiliki ideologi yang sama”. Hal ini pula yang menjadikan asumsi bahwa sekumpulan orang-orang tersebut lebih sering memperjuangkan kepentingannya lebih dulu, bahkan tatkala sudah berhasil duduk dalam parlemen pun lebih cenderung berjuang untuk individu dan golongannya sendiri bukan untuk kepentingan umum.

Bila dikaji lagi fungsi-fungsi partai politik lebih kompleks lagi yang antara lain untuk: rekrutmen politik, komunikasi politik, agregasi dan artikulasi politik, sosialisasi politik yang terdiri dari pendidikan politik dan indoktrinasi serta pengaturan konflik (manajemen konflik).

Dari fungsi-fungsi di atas dapat kita lihat memang kepentinganlah yang menjadi latar belakang sebuah partai politik. Dalam sistem parlementer, dimana sebagai contohnya adalah Inggris, peran sentral partai politik sangatlah vital. Perdana menteri (prime minister) merupakan ketua golongan mayoritas di parlemen, tetapi dengan sistem “tradisi gentleman Agreemant” yang telah lama ditegakkan keberadaan dan sepak terjang partai politik di Inggris dapat terkontrol dengan cermat.

Kalaupun ada oposisi dalam parlemen, yang terbentuk adalah oposisi loyal. Pemerintah yang berjalan menganut semangat “for people”, dimana terjadinya langkah-langkah penggoyangan (seperti mosi tidak percaya) pemerintah diselesaikan dengan meminta diadakan pemilihan umum sebagai langkah meminta mandat rakyat disetujui atau tidak untuk berkuasa.

Berbeda dengan sistem “presidensil”, dimana di Amerika Serikat jabatan seorang presiden tidak harus seorang ketua partai politik. Yang didominasikan adalah kandidat yang memiliki kapabilitas dan akseptabilitas.

Dalam sistem yang dibangun dengan dominasi kepartaian sebagaimana di Negara-negara berkembang yang tercipta perilaku legislative yang “patronage-client”. Dalam patronage-client, partai sebagai pelindung yang memberikan sumber-sumber untuk perkembangan lebih lanjut yang akhirnya menimbulkan semangat partai diatas segala-galanya.

Di Indonesia saat ini yang semestinya menganut sistem presindensil sepertinya perlu dijaga agar tidak terjadi praktek Presidensil dengan cita rasa Parlementer. Tugas para politisi yang akan duduk di kursi dewan yang terhormat nanti yang seyogyanya dapat mengembalikan kereta api kepada jalur relnya yang tepat dan menjaga agar terhindar dari musibah yang sering terjadi sehingga dapat membawa penumpangnya sampai di tempat tujuan dengan selamat, aman, nyaman dan bahagia. Partai Politik tentunya harus mampu menjadi lokomotif perubahan dengan membawa segenap rangkaian gerbongnya menuju tempat yang diinginkan.
(dari berbagai sumber bacaan)

 
Picture
Mungkin,tak banyak pemimpin kita yang mengerti arti kepemimpinan dan filosofi kepemimpinan. sehingga, terlalu sering kita dapati, pemimpin kita yang nyata-nyata kegagalan dan ketidakbecusannya dalam memimpin masih berkilah sukses dalam memimpin dan menganggap dirinya layak untuk terpilih kembali sebagai pemimpin.

Padahal, dasar utama dari kepemimpinan adalah kepercayaan atas amanah dan kemampuan untuk mengaktualisasikan diri dalam mengembang amanah yang dipimpinnya.

Ketika seorang pemimpin telah merasa sukses dan berhasil dalam kepemimpinannya maka sesungguhnya dia telah jatuh dan gagal dalam memimpin karena kepemimpinan adalah amanah yang tujuan utamanya adalah bekerja dan berkreasi demi mencapai tujuan tertentu yakni pencerahan dan kemakmuran bagi yang telah menetapkannya sebagai pemimpin.sehingga, keberhasilan seharusnya tidak pantas untuk dibanggakan karena dengan tujuan keberhasilan itulah sesungguhnya mengapa dia dipilih.

Pemimpin dipilih untuk menjadi kepala dan mata bagi yang dipimpinnya untuk mengatasi kendala yang ada dalam proses perjalanan. Artinya,masalah itu telah ada dan tinggal mencari seseorang yang punya visi dan misi yang jelas untuk menyelesaikan masalah tersebut. dan orang yang mengajukan dirinya untuk menjadi pemimpin adalah orang yang merasa layak untuk dipilih dalam mengatasi masalah yang ada dimana dia memiliki visi dan misi yang jelas. bukan untuk mencari solusi dan mengumpulkan berbagai pendapat guna mengatasi masalah yang ada. dia tidak dipilih untuk diskusi dan sharing ide dalam mengatasi masalah tapi dia dipilih untuk bertindak mengatasi masalah dan memiliki visi jelas untuk masalah berikutnya yang pasti akan muncul. andai pemimpin dipilih untuk menjadi ketua diskusi dan ketua sharing pendapat maka saya berpikir kebanyakan orang pasti bisa.

Padahal,pemimpin adalah orang yang terbaik diantara yang baik dalam hal ini visi dan misi serta semangat kerja kerasnya.

beberapa orang yang telah menjadi pemimpin dan mengerti filosofi kepempinan, mengajarkan pada kita bahwa ketika dia merasa tidak sanggup lagi dan atau telah gagal dalam mencapai visi dan misi kepemimpinannya maka dia memilih mengundurkan diri dari kursi empuknya. Ini bukan sifat pengecut atau lari dari masalah tapi sesungguhnya dia memahami dengan benar bahwa masih ada orang lain yang lebih bisa dari dia. Dan dia tidak perlu bersikeras untuk merasa bisa, padahal sesungguhnya telah nyata kegagalannya, yang mengakibatkan regenerasi terhambat. Tindakan ini bukan pula bentuk dari kelemahan baik jiwa maupun pemikiran tapi sesungguhnya adalah bentuk kebesaran jiwa dalam memahami potensinya dan potensi orang yang ada disekitarnya.Tindakan ini juga bentuk pemikiran yang matang dan melihat jauh kedepan sehingga dia bisa melihat kompleksitas masalah yang akan timbul yang mungkin akan menuntut pemikiran dan tindakan ekstra cepat. Dengan visi seperti itu, maka dia memberikan tongkat estafet kepada yang lebih segar dan lebih visioner.

Beberapa negara atau organisasi yang punya sejarah kepemimpinan sangat lama, kemudian memahami tingkat kejenuhan tersebut dan mecoba membentuk sistem yang mengatur siklus kepemimpinan. Maka dibeberapa tempat, sering kita mendengar adanya aturan pembatasan umur seorang pemimpin, pembatasan masa kepemimpinan, pembatasan lama atau periode banyaknya memimpin. ini bertujuan untuk memberikan ruang yang seluas-luasnya pada proses regenerasi di tempat tersebut.

sejarah juga menunjukkan bahwa bangsa yang besar sekarang ini adalah bangsa yang pernah jatuh,pernah terpuruk,pernah terjajah atau pernah mengalami siklus lama dalam regenerasi kepemipinannya.

Sejarah juga menunjukkan bahwa bangsa yang besar sekarang ini adalah bangsa yang proses regenerasi kepemimpinannya berjalan dengan cepat dan alami. bahkan beberapa diantaranya diisi dengan cerita pengunduran diri pemimpinnya. Mereka yang terjajah belajar dari keterjajahannya sedang mereka yang pemipinnya  mengundurkan diri belajar menghargai kebesaran jiwa pemimpinnya sehingga tidak mesti harus berakhir dengan tragis sebagaimana sering kita lihat pada pemimpin yang tidak peka dan sensitif arus bawah yang tidak pro lagi dengan visi kepemimpinannya.

Beberapa kisah mengajarkan pada kita, pada titik jenuh tertentu ketika seorang pemimpin telah lama berkuasa dan tidak peka lagi maka dia akan diakhiri dengan cara yang lebih tragis. Akibatnya,respek penghormatan yang seharusnya dia dapatkan karena jasa kepemimpinannya selama ini justru berubah menjadi cacian dan hinaan. Masa istrahat yang seharusnya tenang berubah menjadi keriuhan masalah yang diakibatkan oleh ekses dari kepemimpinannya yang lama.belum lagi kalau selama kepemimpinannya itu dibumbuhi banyak cerita yang tidak sedap semisal pelanggaran moral,pelanggaran hak orang lain dan lain sejenisnya.

Asasinya, kepemimpinan untuk mensejahterahkan semua pihak baik lawan maupun kawan. orang yang tidak mengerti kepemimpinan dengan baik akan mensejahterakan salah satu pihak saja dalam hal ini kawan yang seperjuangan dengannya. ini sering kita lihat dalam kehidupan sehari-hari kita.

Sejarah bangsa Indonesia cukup memberikan contoh yang luar biasa banyaknya terkait tulisan ini.tinggal anda memilah siapa dan bagaimana dia pada akhirnya.

wasalam


 
Picture
Kekecewaan masyarakat akibat perilaku politik yang ditunjukkan para pemimpin baik di lembaga eksekutif maupun di lembaga legislatif sudah sangat mengerikan, tidak pernah luput dari pemberitaan media tentang kejadian-kejadian mereka yang merugikan dan membuat kecewa masyarakat. Dan yang paling mengerikan adalah wabah korupsi yang kian menggila sampai pada lembaga yang seharusnya menegakkan supermasi hukum di Indonesia. Pengamat Indonesia dari Northwestern University (Amerika Serikat), Jeffrey A. Winters menyebutkan bahwa demokrasi berjalan dengan amat maju di Indonesia. Indonesia adalah negeri paling demokratis di Asia Tenggara. Tapi menurut Winters kemajuan demokrasi itu tak disertai dengan tegaknya hukum. Akibatnya korupsi merajalela dan menyebarkan rasa ketidak-adilan yang meluas di kalangan rakyat. Apakah hal ini adalah kesalahan generasi yang saat ini mempimpin? Tentunya kita tidak mendikotomi hal tersebut! Sebut saja banyak tokoh-tokoh politik muda yang justru terlibat kasus korupsi dan terjerat pada praktek dinasti politik. Namun saya berpikir harus secepatnya generasi muda mengambil alih tampuk kepemimpinan, dan kaum terdahulu menjadi mentor yang baik untuk melanjutkan perjuangannya yang didasari kepentingan bangsa dan negara. Dan kaum muda yang bermasalah, sudah seharusnyalah sadar diri untuk tidak lagi melibatkan diri yang hanya akan mempersulit recovery atau perbaikan negara dan pemerintahan ke arah yang lebih baik.

Memang seharusnya kita tidak membicarakan banyak hal tentang keburukan dan kelemahan orang lain, karena sesungguhnya di setiap manusia itu selalu ada kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Namun kita tetap harus belajar dari pengalaman, bahwa tidak akan berubah suatu kaum apabila kaum tersebut tidak mau merubahnya sendiri. Kebersamaan antar satu kaum yaitu seluruh bangsa Indonesia seharusnya diperkuat, bahwa kita sekarang ini perlu membuat percepatan dalam perubahan Indonesia yang lebih baik. Sehingga diperlukan kesadaran dan kerelaan yang tinggi dari saudara-saudara kita yang memiliki agenda yang hanya mementingkan kepentingannya sendiri dan kelompoknya.

Kita harus sadar pula bahwa saat ini Bangsa Indonesia sedang dalam pengamatan suatu kaum yang menginginkan Indonesia tidak memiliki kekuatan untuk maju, mereka berupaya membuat bangsa ini bodoh, bangsa ini menjadi sapi perahan mereka, bangsa ini akan terus dihalangi oleh berbagai strategi yang akhirnya memecah belah bangsa. Para pendiri bangsa ini sudah sejak lama memikirkan dan mengkhawatirkan keadaan tersebut, mereka akan sedih apabila bangsa ini hancur dan kehilangan generasi penerus yang paham terhadap konsep bangsa.

Tentunya para kawula muda yang jiwanya masih berhembus rasa kebangsaan harus bersatu-padu dan bahu-membahu menciptakan kondisi agar muncul tokoh-tokoh baru yang tidak sekedar populer karena media, tapi yang lebih penting adalah mereka bebas kepentingan dan semata-mata berharap ridho Tuhan dalam membuat bangsa ini lebih baik. Jati diri bangsa bukan sekedar slogan yang harus diingat saja, tetapi harus dapat dipahami secara arif dan bijaksana. Kita harus memahami sepenuh hati dan segenap jiwa agar terhindar dari sekedar alat politik semata.

Masih banyak sebenarnya diantara masyarakat kita kaum yang mumpuni dalam memahami jati diri bangsa dan mereka sementara ini berdiam diri dan tidak mau menyombongkan diri untuk sekedar berbicara atau cari perhatian. Mereka memegang teguh pondasi yang diamanatkan dari kaum sebelumnya, untuk nanti saatnya berbuat sesuai dengan kemampuan dan tugasnya masing-masing. Beberapa hasil diskusi dan mempelajari fenomena ke depan, bahwa bangsa Indonesia sebenarnya cukup mampu menjadi bangsa yang besar dan disegani oleh bangsa-bangsa lain. Dan semua itu mengarah kepada dinanti-nantikannya kemunculan pemimpin yang memiliki konsep kepemimpinan baru dari kalangan generasi muda.

Paling tidak, ada tiga karakter pemimpin yang diharapkan masyarakat:

Pertama : Perencana.
Masyarakat membutuhkan sosok pemimpin yang memiliki kapasitas intelektual memadai dan menguasai kondisi makro nasional dari berbagai aspek, sehingga dapat menjaga visi perubahan yang dicitakan bersama. Kemampuan melakukan implementasi strategi yang didasari pada konsep strategis dalam merencanakan setiap langkah yang sesuai dengan visi misi perubahan yang berlandaskan pada filosofi terbentuknya Bangsa Indonesia.

Kedua : Pelayanan.
Masyarakat rindu figur pemimpin yang seorang pekerja tekun dan taat pada proses perencanaan yang sudah disepakati sebagai konsensus nasional, menguasai detil masalah kunci kebangsaan dan mampu melibatkan semua elemen yang kompeten dalam tim kerja yang solid. Sesungguhnya setiap orang yang masuk pada lembaga-lembaga negara tersebut adalah sebagai pelayan masyarakat, bukan orang yang gila kekuasaan dan kehormatan.

Ketiga  : Pembina.
Masyarakat berharap pemimpin menjadi tonggak pemikiran yang kokoh dan menjadi rujukan semua pihak dalam pemecahan masalah bangsa, yang setia dengan nilai-nilai dasar bangsa dan menjadi teladan bagi kehidupan masyarakat secara konprehensif. Kita tidak boleh terombang-ambing dalam skenario asing yang mengganggu kedaulatan dan jati diri bangsa.

Pemimpin harus dapat membangkitkan semangat rakyatnya untuk bersama-sama keluar dari berbagai permasalahan bangsa. Untuk menumbuhkan tipe kepemimpinan baru tersebut, dibutuhkan sebuah proses belajar yang berkelanjutan (sustainable learning process) dalam berbagai dimensi.

Pertama, dimensi belajar untuk menginternalisasi dan mempraktikan nilai-nilai baru yang sangat dibutuhkan bagi perubahan kondisi bangsa sehingga membentuk karakter dan pola perilaku yang positif sebagai penggerak perubahan.

Kedua, belajar untuk menyaring dan menolak nilai-nilai buruk yang diwarisi dari sejarah lama maupun yang datang dari dunia kontemporer agar tetap terjaga karakter yang otentik dan perilaku yang genuine.

Ketiga, belajar untuk menggali dan menemukan serta merevitalisasi nilai-nilai lama yang masih tetap relevan dengan tantangan masa kini, bahkan menjadi nilai dasar bagi pengembangan masa depan.
Namun kepemimpinan baru bukanlah proyek trial and error. Melainkan upaya pengembangan potensi dengan dihadapkan pada kenyataan aktual. Krisis ekonomi-politik yang masih terus berlanjut menuntut tokoh yang kompeten di bidangnya dan memiliki visi yang jauh untuk menyelamatkan bangsa dari keterpurukan. Bencana alam dan sosial yang terjadi silih berganti menegaskan perlu hadir tokoh yang peka dan cepat tanggap terhadap penderitaan rakyat serta berempati dengan nasib mayoritas korban. Ketiga, tantangan lintas negara di era informasi membutuhkan urgen kesadaran akan masalah-masalah dunia yang mempengaruhi kondisi nasional dan jaringan yang luas dalam memanfaatkan sumber daya.

Keempat, goncangan dalam kehidupan pribadi dan sosial mensyaratkan adanya kemantapan emosional dan spiritual dari setiap pemimpin dalam mengatasi problema diri, keluarga, dan bangsanya. Tipe pemimpin baru seperti ini bukan hanya dibutuhkan segera di pentas nasional. Tapi, juga di tingkat lokal. Karena itu, bangsa ini membutuhkan secara masif proses yang outputnya bisa diuji di tingkat regional bahkan global. Indonesia tidak mungkin memainkan peranan di arena antar bangsa tanpa anak-anak bangsa yang memiliki kualitas kepemimpinan yang mumpuni.

Diolah dari berbagai sumber dan diskusi.

 
Picture
Akhir-akhir ini dengan semakin seringnya Perusahaan Listrik Negara (PLN) mengadakan pemadaman listrik di Kota Sawahlunto menyebabkan masyarakat baik para pelaku usaha maupun rumah tangga di salah satu kota tua di Indonesia ini yang notabene adalah konsumen dari PLN tersebut mulai merasa gerah serta kesal dengan pelayanan yang sangat tidak memuaskan dari PLN.  Mulai berserakan kalimat-kalimat baik yang elegan maupun sumpah serapah yang mulai mempertanyakan tentang pelayanan yang sangat jauh dari kata-kata memuaskan sehingga memicu penulis yang notabene mengawal kebijakan untuk tidak adanya pemadaman listrik di Kota Sawahlunto berdasarkan sebuah MOU dan Nota kesepakatan yang sudah di tandatangani oleh pejabat berwenang dari PLN maupun Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota Sawahlunto pada saat Aksi Demo Damai PLN Kamis/29 Oktober 2009 yang lalu menuliskan sebuah opini tentang sebuah rasa ketidakpuasan terhadap pelayanan tersebut.

Masyarakat atau pelaku usaha sebenarnya dapat untuk menggugat ganti rugi ke Pengadilan sekaitan dengan terjadinya kerusakan pada alat elektronik seperti computer, kulkas, televisi dan perlengkapan alat rumah tangga yang rusak akibat pemadaman listrik. Karena kenyamanan Konsumen itu jelas-jelas sudah diatur dalam Undang-Undang No.08 Tahun 2009 Tentang Perlindungan Konsumen.

Perlindungan konsumen adalah segala upaya yang menjamin adanya kepastian hukum untuk memberi perlindungan kepada konsumen. PT. PLN dapat dijerat dengan UU tersebut akibat pelayanan buruk kepada masyarakat. Dalam pasal 62 bahkan disebut ancaman hukuman lima tahun penjara dan denda 2 miliar. Penerapan Hukuman terhadap pelanggar UU Perlindungan Konsumen perlu diterapkan sehingga dapat membuat efek jera dan tidak mengulangi kesalahan tersebut.

Aksi Demo Damai jilid I yang Penulis motori saat itu membuahkan sebuah MOU atau kesepakatan yang intinya adalah : “PT.PLN sebagai Produsen Listrik, tidak akan mengadakan pemadaman listrik di kota Sawahlunto sepanjang masih beroperasinya 1 unit PLTU Ombilin yang ada di Sijantang Kota Sawahlunto kecuali ada Force Majeure/bencana”

Nah inilah sesungguhnya menjadi sebuah alasan yang paling kuat oleh Penulis untuk kembali memotori aksi demo damai PLN jilid II karena tanpa alasan yang jelas PLN kembali mengulangi hal yang serupa dengan hal yang terjadi pada saat tahun 2009 yang lalu, di mana terjadi pemadaman listrik yang terjadi tanpa sebab dan alasan yang jelas. Tidak ada angin dan tidak ada hujan listrik padam. Dan itu terjadi tidak hanya sebentar malah sekarang sudah mulai menjadi-jadi karena pemadaman sudah mulai terjadi dengan durasi 4-5 kali sehari yang masing-masingnya 2 sampai 3 jam.

Kalaulah penulis tidak menyadari tentang keberadaan Pembangkit Listrik 2x100MW yang ada di Kota Sawahlunto,mungkin hati kecil ini akan dapat menerima apa yang dilakukan PLN pada saat ini karena daerah ini bukanlah penghasil listrik. Sungguh ironis malahan. Sebagai pemasok listrik ternyata PLN tidak mampu untuk memberikan kenyamanan di lokasi keberadaannya.seperti idiom “Ayam mati kelaparan di lumbung padi” atau “Ikan mati kehausan saat berenang”

Bukan bermaksud mengompori atau memprovokasi, penulis sebagai masyarakat kota Sawahlunto mungkin mewakili semua pemikiran serta keluhan semua warga masyarakat kota ini tentu kembali mempertanyakan PLN yang sudah melakukan WANPRESTASI terhadap MOU tahun 2009 itu. Penulis sudah memandang perlu kiranya kita kembali turun ke jalan saat keluhan dan suara ini sudah tidak bisa lagi di tanggapi oleh PLN, Pemerintah Kota serta Lembaga Perwakilan Rakyat Daerah Kota Sawahlunto.

Jadi sekarang sudah saatnya lagi kita bangkit bersuara lagi berteriak dengan lantang dan tidak lagi hanya melakukan diskusi-diskusi kosong di warung maupun tempat-tempat yang lain di setiap sudut kota….ayo bersama kita turun lagi ke jalan meninggalkan sejenak aktifitas serta segala kesibukan kita. Kita harus kembali buat mata dan fikiran mereka terbuka akan kebutuhan kita warga masyarakat kota Sawahlunto yang hanya menginginkan 1 kata…..Tidak ada lagi pemadaman listrik di kota ini sebagai kompensasi dari keberadaan PLTU Ombilin yang notabene juga ikut merusak infrastruktur yang ada serta mencemari udara kita….kalaulah sarana prasarana kota kita rusak dan udara kita tercemar oleh keberadaannya..tidak pantaskan kita menuntut kompensasi seperti itu.

Ayo warga masyarakat Kota Sawahlunto….merdekakan fikiranmu!!!!......merdekakan hatimu !!! merdekakan nuranimu !!! Hentikan keterbenaman kita dari dogma dan doktrin-doktrin kuno bahwa kita masyarakat tidak berhak bersuara serta berada dalam sebuah penjajahan baru yang bernama PLN….ingat PLATO berkata “Suara Rakyat Suara TUHAN” saat Rakyat berkehendak..maka itulah kehendak TUHAN.

Kami menunggumu !! Sawahlunto Menunggumu !!!

Kalau tidak sekarang kapan lagi !!! kalau tidak kita yang akan bersuara dengan lantang..siapa lagi !!!!


 
Picture
PERHATIAN negara terhadap kelompok masyarakat marjinal secara sosial mencerminkan keinginan bangsa tersebut mencapai kemajuan. Suatu bangsa dapat dianggap maju jika berhasil meningkatkan kesejahteraan rakyatnya. Bukan berarti negara yang maju terlepas dari masalah-masalah kemiskinan, namun yang patut diperhatikan adalah bagaimana perhatian negara terhadap kesejahteraan rakyatnya. Dalam hal ini, kemiskinan menjadi musuh bagi setiap negara.

Definisi tentang kemiskinan memang sangat beragam. Kemiskinan sebagai ketidakmampuan seseorang dalam memenuhi kebutuhan konsumsi dasar dan meningkatkan kualitas hidupnya. Beberapa pengertian lainnya memasukkan unsur sosial dan moral sebagai variabelnya. Secara struktural, kemiskinan dapat dimaknai sebagai kondisi yang tercipta akibat ketimpangan kepemilikan modal dan alat produksi.

Kemiskinan di sini diartikan sebagai ketidakberdayaan sekelompok masyarakat atas sistem pemerintahan yang menyebabkan masyarakat berada pada posisi yang tereksploitasi. Hal ini menggambarkan bahwa kemiskinan adalah sebagai suatu kondisi dari pola hidup, budaya dan pola-pola interaksinya bukanlah sesuatu yang terberi, namun tercipta karena adanya peran struktur yang menindas. Seseorang menjadi miskin bukan karena malas, bodoh dan atau tidak punya etos kerja yang tinggi, tetapi lebih karena terdapat struktur sosial yang timpang. Perspektif ini lebih dikenal sebagai kemiskinan struktural.

Kemiskinan bukan semata-mata fenomena sosial, tetapi lebih merupakan fenomena struktural. Pemerintah yang masih berkutat pada perspektif yang melihat kemiskinan sebagai fenomena sosial sebetulnya berupaya berkelit dari tugasnya sebagai pihak yang paling bertanggungjawab terhadap problem kemiskinan. Argumen yang selalu diulang-ulang adalah bahwa kemiskinan terlalu kompleks untuk diselesaikan dalam waktu singkat dan bahwa kemiskinan adalah masalah bersama. Karena itu semua untuk mengatasinya secara bersama-sama pula. Ini adalah distorsi dan manipulasi dalam bentuk yang sangat halus. Rakyat dipersuasi sedemikian rupa sehingga akhirnya lupa bahwa kemiskinan bukan fenomena struktural (Muhammad, 2005).

Tata ekonomi dan model pembangunan yang selalu berubah tetap menempatkan rakyat sebagai korban. Model pembangunan Keynesian yang telah lama dianut oleh rezim-rezim yang berkuasa di Indonesia patut kiranya dipertanyakan kembali keampuhannya. Tak bisa dipungkiri bahwa penerapan teori Keynes telah sukses merekontruksi negara-negara berkembang. Namun masa keemasan itu hanya bertahan selam kurun waktu 20 tahun yaitu antara tahun 1950-1970. Banyak teori dan doktrin pembangunan memiliki kesamaan komposisi, ialah mendefinisikan pembangunan ekonomi hanya sebagai pertumbuhan ekonomi.

Tak bisa disangkal, para ekonom Keynisian masih mendasarkan proposisi yang mendasari konsepsi kemajuan dalam tradisi ekonomi klasik bahwa kemajuan adalah sebuah proses linier. Gagasan pembangunan didasarkan pada proposisi itu. Pembangunan itu dipahami sebagai proses linier yang bakal mewujudkan apa yang pernah disebut oleh Adam Smith sebagai “kekayaan” bagi masyarakat yang terbelakang dan primitif. Agar bisa menjadi negara industri, negara-negara non industri harus menempuh jalan yang sama persis dengan yang dahulu dilalui negara-negara industri barat.

Saatnya para ekonom Indonesia mencari solusi alternatif untuk menyelesaikan permasalahan ekonomi dan kemiskinan di Indonesia. Dengan segenap kelemahan dan kelebihannya, ekonom Indonesia bisa saja mempelajari, misalnya, pada Amartya Sen tentang bagaimana pembangunan ekonomi dan demokrasi direformulasi untuk menyelesaikan permasalahan kemiskinan. Sen (2000) mengemukakan bahwa demokrasi adalah sarana untuk mencapai tujuan kebebasan politik, sementara pembangunan ekonomi bertujuan menciptakan kebebasan di bidang ekonomi. Meski demokrasi tidak selalu membawa kemakmuran, tetapi di negara-negara demokrasi tidak pernah ada kelaparan. Pemerintahan yang demokratis akan lebih tanggap pada masalah-masalah yang dihadapi rakyatnya.

Di sadur dari Buku Daman Huri, Salah Satu Penulis Buku “Demokrasi dan Kemiskinan” serta dari berbagai sumber

 
Picture
Aristoteles, seorang filsuf terkenal di era Yunani kuno mengatakan, manusia adalah zoon politicon (makhluk yang hidup berpolitik). Pernyataan ini menunjukkan manusia dalam beraktivitas sehari-hari tidak terlepas dengan istilah yang namanya politik.

Politik ibarat bagian dari mata rantai kehidupan manusia. Masalahnya terkadang, walau kita telah berpolitik dalam hidup, kita tidak menyadari, sebab mungkin kita bagian dari orang yang beranggapan bahwa yang dikatakan politik ketika kita terlibat dalam satu wadah partai saja. Politik menurutnya hanya dalam perspektif praktis.

Politik merupakan naluri manusia dalam rangka memenuhi kebutuhan diri dan masyarakat sosialnya melalui pranata-pranata sosial yang dibuatnya. Dengan politik manusia menjadi makhluk yang memiliki peradaban yang tinggi. Sebab politik memunculkan sikap dinamisasi dalam hidup. Beda halnya dengan hewan, mereka tidak bisa dikatakan berpolitik. Oleh karena itu,pola perkembangan hidupnya, seiring bergantinya waktu dan zaman, begitu-begitu saja. Namun satu sisi, politik bisa bergeser dari maknanya yang positif menjadi negatif.

Lebih tepatnya lagi, politik tersebut lebih dimotivasi keinginan hawa nafsu yang sifatnya ambisius untuk mencapai kekuasaan dan kekayaan. Dalam hal ini, istilah politik licik dan kotor dengan menghalalkan segala cara menjadi ideologinya. Tipikal politik seperti inilah yang dikatakan 'syahwat politik'. Dikatakan syahwat, sebab politik tidak disalurkannya pada tujuan yang mulia dalam bingkai amar ma'ruf nahi mungkar.

Kendatipun pada mulanya berkomitmen menegakkan kemashlahatan bangsa, namun fakta secara umum, politik akhirnya lebih membawa dirinya tidak bernilai dalam pandangan manusia dan Tuhan. Oleh karena itu, tidaklah heran, kejahatan politik banyak melibatkan lapisan unsur lingkaran politik itu sendiri. Kondisi ini akhirnya membuat banyak orang (baca: rakyat) skeptis, memandang negatif citra para politikus di negeri ini. Sikap skepstis ini pun turut menerpa orang yang track record-nya mungkin dikenal baik selama ini. Tapi apa lacur, begitu terjun di dunia politik banyak orang tidak menyukainya karena sikap politiknya yang berangkali dipandang lain (negatif) oleh rakyat.

Contoh sederhana saja, jika ditanya umat saat ini, bagaimana persepsinya jika ada ustadz atau ulama terjun dalam dunia politik? Umumnya umat menjawab, tidak simpati. Padahal ustadz dan ulama tadi barangkali berniat mulia untuk berdakwah, agar dakwahbukan hanya pada sebatas ikatan moral saja, tapi juga perlu dilakukan suatu perjuangan melalui wadah legalisasi, agar 'fatwa' dakwah lebih bersifat mengikat seperti hukum, yang berfungsi sebagai tool of social engineering.

Persepsi ini terbentuk dikarenakan rakyat mengalami trauma politik. Selama ini para politikus kita lebih sering mempraktikkan nilai politik yang tidak berkualitas kepada rakyat. Ditambah lagi, fenomena partai politik yang seharusnya menjadi wadah aspirasi rakyat, kini justru ada yang berubah menjadi wadah pengumpul uang dan pemeras orang.

Suhu politik Pilkada di Kota Sawahlunto contohnya, untuk seleksi calon Walikota n Wakil Walikota pada level tingkat partai saja, seorang calon mengaku telah menyetor hampir Rp 200 juta.Bisa dipastikan, jika contoh fenomena politik seperti ini terbiasa dipraktekkan, patut kita yakini, pola-pola seperti ini akhirnya menyuburkan budaya korupsi dan kolusi yang semakin kronis. Sebab penilaian politik kekuasaan yang muncul bukan permasalahan keadilan dan kesejahteraan rakyat, melainkan untung dan rugi biaya money politics.

Syahwat Politik
Dalam dunia politik modern, partai secara ideal seharusnya menjadi wadah penyampaian aspirasi rakyat. Peran partai adalah sebagai sparring partner terhadap pemerintahan melalui kebijakan-kebijakan yang dianggap 'nyeleneh' buat rakyat. Manakala partai politik dilakukan atas dasar hasrat 'syahwat politik' personalnya, maka kevakuman dan inkoneksasi politik terjadi dalam menjalankan perannya. Hal ini berakibat negatif, bisa saja berujung pada pengadilan rakyat. Embrio sesungguhnya telah terlihat dari banyaknya demonstrasi rakyat yang sering terjadi di tanah air kita ini. Terbukti kita sering mendengar istilah adanya parlemen jalanan, presidium rakyat dan lain sebagainya. Fenomena ini muncul karena rakyat tidak puas dengan kinerja partai politik. Akhirnya, terjadilah istilah, komunikasi politik 'mampet' antara rakyat dan partai politik.

Partai yang profesional adalah partai yang menjalankan visi dan misi kerakyatan. Partai yang menegakkan kebaikan dan keadilan. Partai yang personalnya memahami keberadaan dirinya ada dan duduk di parlemen dikarenakan kepercayaan rakyat. Ribuan bahkan mungkin jutaan orang memberikannya mandat baginya untuk berjuang dalam platform politikamar ma'ruf nahi munkar.Oleh karena itu, dalam rangka membendung 'syahwat politik' para personal politik perlu melakukan self introspection (introspeksi diri) melalui suatu perenungan sbb:

Pertama, kegiatan politik yang dilakukannya merupakan bagian dari jihad sosial dan jihad nafsi (diri sendiri), yang dipandang Tuhan sebagai suatu kemuliaan. Dalam visi keislaman, jihad bisa dilakukan dalam arti luas, tidak mesti melalui peperangan fisik.

Kedua, kegiatan politik merupakan naluri manusia dalam hidupnya. Di dalamnya terbingkai kebaikan dan kesucian jiwa. Personal partai politik harus sadar, politik tidak boleh mengingkari kebenaran nurani (dhamir). Maka keputusan-keputusan yang dilahirkan pun jangan sampai bertentangan dengan hati nurani sendiri. Suara hati harus dijadikan pedoman dalam hidup.

Ketiga, personal partai politik merupakan publik figur bagi rakyat, setidaknya bagi konstituennya sendiri, yang diberikan amanah. Amanah merupakan titipan sosial yang berhubungan dengan pengadilan Tuhan nantinya di akhirat. Amanah mampu menciptakan keadilan dan kesejahteraan hidup bangsa.

Kebebasan saluran media cetak dan elektronik membantu rakyat melihat sepak terjang lingkaran para politikus secara jelas. Adanya ketimpangan-ketimpangan politik yang kita rasakan di negeri ini menjadi barometer bagi kita untuk melihat dan menilai partai politik yang dianggap qualified. Partai mana yang menjalankan 'moral politik' dan yang menjalankan 'syahwat politik'. Kalau kita kaji dari sudut agama, keterpurukan bangsa ini merupakan teguran Tuhan bagi kita, karena selama ini kita dalam bernegara cenderung hanya mengikuti 'syahwat politik' belaka.

 
Picture
Share dari Tulisan PENDIDIKAN ASPIRASI POLITIK RAKYAT

Istilah bandit politik dalam buku Mancur Olson (1932-1998) seorang ilmuwan politik dan ekonomi Amerika Serikat yang berjudul ”Power and Prosperity” (2000), Olson membedakan antara efek-efek perekonomian negara dibawah tipe-tipe pemerintahan yang berbeda karakternya. Tipe-tipe pemerintahan yang dimaksud diantaranya adalah pemerintahan tirani, pemerintahan anarki dan pemerintahan demokrasi. Olson berargumen bahwa para Bandit Politik (Roving Bandit) dibawah pemerintahan yang anarki adalah para politisi yang bekerja secara intensif untuk mencuri kekayaan negara dan merusak tatanan sosial-politik kenegaraan. Sedangkan Bandit Politik (Stationary Bandit) dibawah pemerintahan tirani adalah para politisi yang bekerja secara intensif untuk menguasai kesuksesan perekonomian dengan sambil berupaya untuk tetap terus berkuasa agar mereka bisa mengambil hasil dari kesuksesan perekonomian tersebut. Lalu bagaimana para Bandit Politik di bawah pemerintahan demokratis?

Didik J. Rachbini dalam buku ”Teori Bandit” mendeskripsikan "tersumbatnya saluran aspirasi publik (rakyat) yang dipercayakan kepada legislatif baik pusat maupun daerah, dan mandulnya kinerja eksekutif melakukan maksimalisasi pelayanan publik" bisa mengindikasikan kemunculan para Bandit Politik dibawah pemerintahan demokratis.

Menurut saya, BANDIT POLITIK itu ada dua makna. Politisi yang menjadi bandit dalam dua perspektif yang berbeda. Bandit Politik yang pertama adalah para Politisi Busuk dan yang kedua adalah para Politisi Pemberontak. Bandit Politik yang terdiri dari para Politisi Busuk adalah mereka para politisi yang melecehkan politik dengan perilaku politik yang tidak baik dengan ukuran selalu dominan dalam sikap dan pilihan tindakan untuk mencari keuntungan bagi dirinya dan kelompoknya sendiri bahkan secara sadar dan sengaja tidak peduli dengan kerugian bagi orang lain terutama massa rakyat sebagai akibat dari yang mereka lakukan.

Sedangkan Bandit Politik yang terdiri dari para Politik Pemberontak adalah mereka para politisi yang tidak bisa tinggal diam menyaksikan realitas politik yang tidak baik akibat ulah para bandit politisi busuk.

PEMILU LEGISLATIF 2014 dan Para BANDIT POLITIK

Seperti yang sudah ramai dibicarakan bahwa Pemilu Legislatif akan dilaksanakan bulan April 2014 mendatang..., yang terpenting adalah relakah kita Pemilu ini dikuasai para "BANDIT POLITIK"? Mari berdiskusi...

Sumber Referensi:
http://en.wikipedia.org/wiki/Mancur_Olson
http://en.wikipedia.org/wiki/1921_Svanetian_Uprising
http://padang-today.com/?today=news&id=11147
http://www.antaranews.com/berita/1258493225/pilkada-serentak-sumbar-diusulkan-mundur-

 
Peneliti Centre for Strategic and International Studies (CSIS) Sunny Tanuwidjaja mengatakan, saat ini posisi partai politik di mata masyarakat makin melemah. Masyarakat telanjur tak percaya lagi kepada parpol. Hal ini terjadi karena partai politik dianggap hanya menjual visi dan misi saat pemilu, tapi melupakannya ketika telah mencapai puncak kemenangan. Masyarakat dinilai tidak percaya lagi kepada partai dan memang punya sentimen negatif terhadap partai.

Di awal masa reformasi, masyarakat punya harapan yang sangat tinggi, punya kepercayaan yang sangat tinggi juga terhadap partai dan proses pemilu. Tapi saat itu dikecewakan, sehingga muncul sentimen dan ketidakpercayaan masyarakat terhadap partai. Kebiasaan sejumlah partai politik yang cenderung menggunakan politik uang untuk menarik dukungan membuat masyarakat terarah untuk menikmati uang partai, tapi tak peduli pada visi dan misi partai. “Ketika mereka datang ngomong visi misi omong kosong dan kasih duit aja. Kasarnya, nanti masyarakat akan bertanya, ‘Duit lu mana?’ Kalau sudah seperti itu, mau tidak mau partai pun akan bertindak pragmatis merespons itu. Dia harus mencari uang sebanyak-banyaknya untuk menyogok masyarakat.

Kepercayaan masyarakat pada partai politik yang telah digerogoti ini, hanya bisa diobati dengan memunculkan tokoh-tokoh baru dalam parpol. Tokoh itu harus membawa citra baru sebagai gambaran partai politik yang bersih dan demokratis. Tentunya orang-orang yang memiliki kapasitas dan kradibilitas dengan sistem rekrutmen yang tidak transaksional dan harus terbuka. Dan hal tersebut hanya ada di Partai NasDem sebagai partai baru yang membuka selebar-lebarnya kepada seluruh lapisan masyarakat untuk ikut aktif menjadi anggota partai dan calon legislatif dengan sistem caleg yang terbuka.

Partai sebagai suatu organisasi, Partai politik secara ideal dimaksudkan untuk memobilisasi dan mengaktifkan rakyat, mewakili kepentingan tertentu, memberikan jalan kompromi bagi pendapat yang saling bersaing, serta menyediakan sarana suksesi kepentingan politik secara sah dan damai. Seperti Mark Hagopian mendefinisikan partai politik sebagai suatu kelompok yang mengajukan calon calon bagi jabatan public untuk dipilih oleh rakyat sehingga dapat mengontrol atau memepengaruhi tindakan atau kebijakan publik pemerintah.

Tetapi saya kurang setuju kalau partai diarahkan sebagai usaha memperoleh suatu kekuasaan hanya untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya saja. Tetapi seharusnya partai sebagai usaha memperoleh suatu kekuasaan untuk dapat mengontrol atau mempengaruhi tindakan dan kebijakan publik pemerintah yang menyangkut kepentingan hajat hidup rakyat mayoritas tanpa mengabaikan kepentingan rakyat minoritas. Partai bukan ajang konsentrasi untuk saling kalah atau mengalahkan partai satu sama lainnya untuk mendapatkan kekuasaan tertentu dan dinikmati orang-orang tertentu seperti saat ini, kekuasaan digunakan untuk memperkaya dirinya dan kelompoknya sendiri dengan berkompromi dengan orang-orang yang memiliki modal saja sehingga kebijakannya hanya berpihak pada pemilik modal belaka. Dan Partai saat ini dikuasai oleh orang-orang berduit saja, sehingga seseorang yang memiliki uang dapat muncul sebagai calon wakil rakyat walaupun setelah jadi tidak pernah berpihak pada rakyat. Rakyat memilih wakil rakyat pun cenderung dilihat dari segi ekonomi bukan dari segi kemampuannya sebagai wakil dari rakyat. Inilah yang memprihatinkan saat ini rakyat harus mulai sadar dengan perilaku politik yang hanya hura-hura belaka tanpa ada ideologi dan tujuan yang jelas.

Partai harus beorientasi pada basis pendukung yang luas seperti buruh dan petani, kelompok agama dan memiliki ideologi yang cukup jelas untuk memobilisi massa serta mengembangkan organisasi yang cukup rapi dalam mencapai tujuan ideologinya, dan partai harus pula memberikan pendidikan politik bagi para anggotanya dalam merekrut wakilnya dari rakyat. Pemimpin tertinggi partai harus melakukan kontrol yang sangat ketat terhadap bawahan dan anggotanya. Partai dapat menempatkan calon wakil rakyat sesuai dengan kemampuannya jangan tumpang tindih seperti saat ini. Beberapa keinginan rakyat kepada partai politik sebagai wadah menampung aspirasi adalah:
  1. Partai dapat menyediakan tempat dimana masyarakat dapat mendiskusikan persoalan-persoalan sosial.
  2. Partai dapat memberikan tempat dimana masyarakat dapat memberikan sumbang saran dan menyampaikan aspirasinya.
  3. Para calon dari partai dapat terjun langsung dalam kegiatan-kegiatan sosial sehingga masyarakat dapat menilai, apakah pantas ia menjadi seorang wakil dari partai tersebut.
  4. Partai dapat membawa aspirasi masyarakat dan mempengaruhi kebijakan pemerintah, bukan justu membela kebijakan pemerintah yang merugikan rakyat.
  5. Partai Politik harus meiliki wadah-wadah dalam menampung aspirasi seperti komunitas atau organisasi.
  6. Partai dan pendukungnya harus jujur, bijak, demokratis, legowo, mempunyai integritas, kesamaan misi, dan merasa apa yang dibawa adalah kepentingan bersama.
  7. Partai harus konsisten terhadap perjuangannya.
  8. Partai harus dapat menarik orang-orang sebagai wakilnya baik dibirokrasi, legistalif maupun yudikatif yang tidak sesuai dengan keinginan rakyat.
  9. Partai tak perlu mengiklankan dirinya melalui media masa, kalau dapat dekat dan menyatu dengan rakyat.
  10. Semoga Partai tidak hanya mengumbar janji saat kampanye saja, tetapi benar-benar melaksanakan amanat rakyat disaat sudah berkuasa.
  11. Semoga Indonesia pemimpin dapat memahami politik bukan untuk kepentingan pribadinya saja.
 Diolah Penulis dari berbagai sumber...